e2consulting.co.id – Mendengar kata nomaden, kita teringat kepada suku Gipsy yang suka hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain atau para hippies pada tahun 70-an, yang gaya hidupnya suka berpetualang atau melanglang buana ke berbagai negara. Para hippies tersebut merupakan generasi muda yang memberontak terhadap kemapanan sistem kehidupan yang serba taratur. Hidup serba teratur dan penuh kepastian dilakoni para generasi baby boomers dan X. Setelah lulus sekolah menengah atas atau perguruan tinggi, mereka bercita-cita menjadi pegawai, taat terhadap aturan, kemudian naik pangkat atau jabatan, kesejahteraan meningkat dan loyal kepada satu perusahaan/instansi pemerintah hingga akhirnya pensiun. Semboyan yang selalu digaungkan adalah loyal kepada perusahaan atau mengabdi dengan tulus kepada negara.
Saat ini situasinya sudah berubah jauh. Para lulusan perguruan tinggi tidak lagi berorientasi menjadi pegawai, namun menjadi entrepreneur atau pengusaha start-up. Namun sebagian dari generasi millennial dan Z ada juga yang menjadi pegawai, namun mereka tidak loyal kepada satu perusahaan, mereka dengan mudah berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Para entrepreneur muda membangun usaha start-up, bekerja secara mandiri atau dengan berkolaborasi. Dengan visi yang ada dibenaknya maka program pengembangan usaha disusun dan dijalankan secara intensif. Ada beberapa jenis pengembangan bisnis yang dilakukan, antara lain membuat hardware atau barang-barang, membangun jasa seperti software aplikasi, membuat animasi digital, games, modul pelatihan, bahkan hingga jasa konsultansi.
Membangun bisnis berbasis jasa membutuhkan keahlian berfikir, perlu sarana kerja yang nyaman dan infrastruktur pendukungnya, agar inspirasi lancar mengalir. Dimasa lalu kita mendengar banyak inovator bekerja dari garasi atau gudang di rumah. Bekerja dari rumah akan lebih murah biayanya, namun hasilnya belum tentu lebih baik atau lebih cepat, karena cepat bosan dan gangguan dari keluarga. Enterpreneur atau profesional muda saat ini sudah jauh lebih enak karena terdapat sejumlah co-working space sebagai tempat kerja mandiri atau berkolaborasi. Namun mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki profesional muda, bekerja di co-working space di kota besar juga masih mahal dan cepat bosan. Mereka mencari tempat kerja lain yang lebih nyaman dengan biaya hidup yang lebih murah. Dengan menggunakan penerbangan low cost mereka datang ke suatu kota atau tempat wisata yang nyaman dan menyenangkan, mereka bekerja dari sana. Mereka membawa Devices seperti laptop, smartphone, kamera, mikropon dan modem, sebagai sarana kerja. Profesional muda menjadi digital nomad yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan pengalaman atau gairah baru. Misalnya, selama tiga bulan tinggal di Bali, kemudian pindah ke Chiang Mai selama tiga bulan dan enam bulan di Budapest dan akhirnya kembali ke negara asal untuk finalisasi proyeknya.
Negara-negara berkembang melihat potensi bisnis ini dan menawarkan kota-kota-nya sebagai tempat bekerja yang nyaman dengan biaya hidup jauh lebih murah. Beberapa tempat menjadi tujuan seperti Canggu (Bali), Chiang Mai (Thailand), Buenos Aires (Argentina), Mexico City (Mexico), Medelin (Colombia), Budapest (Hungary), Krakow (Poland) dan Lisbon (Portugal). Pengusaha setempat menyediakan tempat co-working space dan pemondokan murah yang harganya terjangkau bagi para professional muda untuk tinggal lama disana. Pemerintah lokal juga membantu penyediaan infrastruktur internet dan kemudahan memperoleh Visa. Salah satu negara yang mengundang para digital nomad adalah Estonia di Eropa Utara. Pemerintah memberi kemudahan untuk bekerja dari sana dan menyediakan akses broadband internet berkualitas tinggi serta proses perijinan Visa dan usaha yang sangat mudah.
Infrastruktur yang dibutuhkan professional muda dalam bekerja adalah Devices, Network and Application serta adakalanya membutuhkan Cloud Services. Network menjadi infrastruktur utama yang dibutuhkan, dimana mereka perlu jaringan internet berkecepatan tinggi yang dapat di akses dari tempat kerja mereka atau dari co-working space-nya. Mereka harus always connected dengan internet melalu Devices seperti laptop, smartphone dan smart devices lainnya. Jaringan internet diakses melalui WiFi, sebaiknya dilayani oleh fixed broadband dan didukung pula oleh layanan mobile broadband yang berkualitas tinggi. Tantangan utama bekerja dari negara berkembang adalah kecepatan internet yang mungkin jauh lebih lambat dibandingkan dengan negara asalnya. Para professional muda sering mengeluh tentang kualitas layanan internet di Bali, khususnya untuk mendownload software dan aplikasi, melakukan upload pekerjaan atau menonton video streaming seperti Netflix maupun YouTube.
Kehidupan profesional muda yang melakoni digital nomad kelihatannya sangat menyenangkan, seperti terlihat dari postingan Instagram-nya saat menggunakan laptop dari tepi pantai atau kolam renang, menikmati social party di malam hari dan berbagai keceriaan lainnya yang menyebabkan rasa iri bagi teman-temannya para pekerja kantoran. Sesungguhnya pekerjaan mereka sangat berat, jam kerja tidak terbatas, membutuhkan suasana yang tenang dan menyenangkan, supaya inpirasi terus mengalir. Dan mereka sering dikejar deadline atau jadwal penyelesaian proyek yang menyebabkan stress meningkat. Sementara itu, kantong makin menipis pula. Para profesional muda yang bekerja di satu co-working space cepat menjadi cepat akrab dan sering menjadi partner diskusi tentang proyek yang dijalankan masing-masing.
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan lockdown atau PSBB di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Hal ini telah menyebabkan kegiatan digital nomad berhenti sementara. Namun kedepan, kehidupan digital nomad ini akan menjadi gaya hidup baru. Diperkirakan pada tahun 2035 akan ada 1 miliar orang yang berkelana atau menjelajahi dunia ini. Kiranya para pengusaha, pemerintah daerah dan pusat perlu mengantisipasi kehadiran digital nomad ini dengan menyediakan infrastruktur dan kemudahan perijinan bekerja dari Indonesia. Semoga!