e2consulting.co.id – Pemanasan global yang meningkat dari tahun ke tahun telah menyebabkan kekhawatiran masyarakat dunia akan keberlangsungan hidup manusia jangka panjang. Dalam United Nation Climate Change Conference tahun 2015 di Paris, telah dicanangkan untuk penurunan suhu bumi (global warming) rata-rata 2 persen dibawah level suhu di jaman pra industri. Hal ini diharapkan terwujud pada pertengahan abad ke 21. Penyebab utama global warming adalah emisi gas CO2 yang dihasilkan industri, umumnya melalui pembakaran BBM dan batubara. Untuk mengurangi global warming tersebut, negara-negara maju telah mulai menggunakan renewable energy dalam industri maupun dalam kendaraan bermotor, yakni menggantikan penggunaan energi fosil dengan energi yang ramah lingkungan.

Salah satu pengguna energi fosil adalah pembangkit listrik yang menggunakan batubara, gas atau minyak. Saat ini di US sudah tidak ada pembangunan baru Pembangkit Tenaga Listrik Batu Bara, sudah beralih kepada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Angin atau Bayu (PLTB). Demikian pula di Eropa, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dan Batu Bara sudah mulai dimatikan, digantikan dengan PLTS dan PLTB.

Dampak global warming juga direspons pelaku industri yang selama ini membeli energi dari perusahaan listrik. Perusahaan-perusahaan berbasis IT seperti FAMGA (Facebook, Amazon, Microsoft, Google dan Apple), sudah mulai memproduksi energi sendiri menggunakan renewable energy di kantor, pabrik, data centre dan kegiatan penunjang usahanya. Demikian pula sejumlah warga masyarakat yang sadar lingkungan, mulai memasang solar-cell diatap rumahnya. Trend memproduksi listrik sendiri semakin berkembang di rumah pribadi, kawasan pemukiman, resort hingga perkantoran. Setiap rumah berpotensi memproduksi listrik untuk digunakan sendirian (off-grid) dan kelebihan dayanya disalurkan sebagian ke perusahaan listrik. Produksi listrik tenaga surya tidak bisa diandalkan setiap saat karena tergantung kepada intensitas cahaya matahari, sehingga setiap rumah tetap berlangganan ke perusahaan listrik, namun dengan daya terpasang yang tidak terlalu besar.

Komponen utama dari PLTS adalah solar cell, inverter dan batere. Harga ketiga komponen tersebut semakin hari semakin turun karena produksi yang semakin banyak. Pabrik solar cell di China telah mendisrupsi pasar solar cell di US dan Eropa sehingga harganya turun drastis. Harga batere juga semakin turun namun masih belum cukup ekonomis untuk dipasang di rumah. Harga listrik di Indonesia yang relatif murah menyebabkan skala ekonomi memproduksi listrik sendiri belum ekonomis. Tipping point penggunaan listrik tenaga surya di rumah akan terjadi bila harga solar cell dan batere Lithium Ion semakin murah sehingga nilai ekonomi listrik tenaga surya cukup kompetitif dengan harga listrik PLN. Inilah ancaman disrupsi PLN di masa mendatang, konsumen akan memproduksi listrik sendiri dan juga kemungkinan lahirnya perusahaan listrik swasta yang menawarkan listrik yang berasal dari renewable energy dengan kualitas yang baik dan handal serta harga yang kompetitif.

Saat ini PLN sibuk dengan rencana elektrifikasi 100 % untuk menjangkau seluruh penduduk Indonesia, dimana saat ini pencapaiannya sudah berada pada level 99 %. Namun untuk mencapai 100 % ini dibutuhkan upaya yang sangat besar karena lokasi penduduk berada di tempat terpencil, sulit dijangkau dan tidak ekonomis bila menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau Gas. Satu-satunya solusi adalah dengan membangun PLTS di kawasan perkampungan atau rumah penduduk. Pertanyaannya, apakah listrik tersebut cukup kapasitasnya untuk kebutuhan peralatan rumah dan berapa lama bisa hidup dalam satu hari? Apakah menggunakan batere untuk menyimpan energi yang diproduksi siang hari? Hal ini membutuhkan biaya investasi yang besar.

Pandemi Covid-19 telah meningkatkan ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi kepada PLN. Masyarakat dan pelaku usaha mengharapkan kehandalan PLN di kawasan pemukiman karena Learning From Home (LFH) dan Work From Home (WFH). Keluhan yang dirasakan murid-murid yang belajar dari rumah antara lain Internet yang tidak stabil kualitasnya atau listrik mati. Hal ini menjadi tantangan bagi PLN di masa pandemi Covid-19 ini untuk meningkatkan kualitas layanan di kawasan pemukiman, antara lain dengan memastikan kondisi Gardu Induk tetap beroperasi dan terpelihara dengan baik, demikian pula jaringan distribusi yang aman dari gangguan lingkungan. Dalam sistem pembangkitan listrik, proses kerja di stasiun pembangkit listrik dan sistem interkoneksi perlu dikelola dengan hati-hati, untuk menghindari black-out seperti tanggal 4 Agustus 2019 di pulau Jawa.

Ketergantungan masyarakat dan pelaku industri kepada pasokan listrik PLN akan semakin meningkat dimasa depan, karena semua sistem peralatan membutuhkan listrik. Berbagai infrastruktur bisnis seperti pabrik berbasis Industry 4.0, fasilitas Smart-city, gedung Data Centre, jaringan Telekomunikasi dan IT, pertanian modern, mining, oil and gas, perusahaan jasa, hingga individu yang bekerja kreatif dari rumah seperti Youtubers, semuanya membutuhkan pasokan listrik yang handal. Beberapa perusahaan membangun sistem pembangkit listrik sendiri seperti mining, oil and gas dan pabrik besar. Mereka harus memastikan pasokan listrik yang sangat handal untuk keberlangsungan usahanya. Demikian pula indvididu yang bekerja dari rumah, mereka mempersiapkan genset atau listrik tenaga surya.

Teknologi digital yang berkembang pesat saat ini membutuhkan pasokan listrik yang sangat handal. Misalnya pemilik mobil listrik yang melakukan charging malam hari di rumah harus berjalan lancar setiap hari seperti halnya kita men-charge smartphone, demikian pula ketika melakukannya di charging station. Perangkat Base Station milik Operator Telekomunikasi Selular melayani perangkat edge computing, yang memproses data secara cepat (latency yang singkat). Dan berbagai infrastruktur lainnya yang semuanya membutuhkan listrik yang sangat handal.

Konsumen mengharapkan PLN untuk memasok listrik yang handal di seluruh pelosok tanah air dan mulai beralih ke listrik yang ramah lingkungan. Hal ini butuh biaya yang sangat besar, ditengah harga listrik yang relatif murah di Indonesia. Bagaimana Pemerintah dan PLN perlu menyikapi permintaan masyarakat akan listrik berkualitas dan ramah lingkungan? (bersambung)