e2consulting.co.id – Teknologi di bidang energi berkembang sangat pesat, hal ini sejalan dengan upaya mewujudkan zero carbon pada tahun 2050. Para stakeholder energi berlomba-lomba mengembangkan kemampuannya dalam membangkitkan dan mendistribusikan energi listrik terbarukan ke konsumen. Kompetisi dalam penyediaan listrik akan semakin terbuka, tidak lagi didominasi perusahaan listrik tradisional. Perusahaan Independent Power Producer (IPP) berpotensi menjadi pemasok listrik dalam kapasitas besar dan juga sebagai penjual listrik ke konsumen. IPP dapat berupa start-up green-energy company, perusahaan oil and gas atau pemodal yang menginvestasikan uangnya untuk memproduksi dan mendistribusikan listrik ke pelanggan. Demikian pula masyarakat umum akan memproduksi listrik di rumah masing-masing, sesuai dengan kebutuhannya. Ketahanan energi akan semakin meningkat karena tidak tergantung kepada satu perusahaan pemasok listrik saja.
Menurut Investopedia, terdapat 10 perusahaan energi terbarukan terbesar di dunia, yang berfungsi sebagai pembuat pembangkit tenaga listrik maupun sekaligus sebagai IPP. Mereka adalah : (1) Orsted – perusahaan pembuat dan sekaligus sebagai IPP PLTB, berpusat di Denmark, (2) Iberdrola SA – perusahaan multi source energy sekaligus sebagai IPP, berpusat di Spanyol, (3) Jinko Solar Holding – perusahaan pembuat PLTS, berpusat di Tiongkok, (4) Vestas Wind System – perusahaan pembuat PLTB, berpusat di Denmark, (5) Siemens Gamesa – perusahaan pembuat PLTB, berpusat di Spanyol, (6) Brookfield Renewable Partner – perusahaan PLTA, berpusat di Canada, (7) First Solar – perusahaan pembuat PLTS, berpusat di US, (8) Canadian Solar – perusahaan pembuat PLTS dan sekaligus sebagai IPP, berpusat di Canada, (9) Renewable Energy Group – perusahaan pembuat energi bio diesel dan (10) SunPower perusahaan pembuat PLTS.
Dimasa depan, interkoneksi jaringan antar perusahaan listrik konvensional dengan IPP maupun dengan instalasi pembangkit listrik rumah dapat dilakukan dengan mudah berkat penggunaan teknologi smart-grid. Teknologi smart-grid memungkinkan pengiriman dan penerimaan listrik antar pihak dapat dilakukan secara cepat dengan pencatatan yang akurat. Teknologi IoT dan 5G akan menjadi sarana komunikasi antar pihak pemasok listrik. Masing-masing penyedia listrik dapat bertindak sebagai penyalur atau penerima listrik, sesuai dengan situasi dan kebutuhan masing-masing. Dengan adanya controller, sistem menawarkan pengiriman atau mengajukan penerimaan listrik sesuai dengan situasi beban listriknya serta dengan memperhitungkan waktu yang paling optimum untuk mendapatkan harga jual-beli listrik terbaik. Misalnya, kita memiliki solar cell di atap rumah yang dilengkapi dengan inverter, batere dan sistem controller. Kita dapat memprogram kapan menyedot listrik dari perusahaan listrik pada saat harganya paling murah dan sebaliknya mengirim listrik ke perusahaan listrik pada saat harga paling mahal.
Yang terbaru, Tesla Energy telah mengembangkan usahanya sebagai IPP disamping sebagai pembuat PLTS dan batere. Melalui anak usahanya Tesla Energy Plan mereka menawarkan listrik bagi rumah-rumah, dengan konsep Virtual Power Plan. Layanan ini sudah diluncurkan di UK dengan tarif flat dan harganya lebih murah dari pemasok listrik konvensional.
Bagaimana dengan rencana pengembangan energi terbarukan di Indonesia? Pemerintah melalui RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 telah mencanangkan ketahanan energi sebagai salah satu program unggulan yang akan dijalankan. Ketahanan energi meliputi peningkatan produksi BBM, mengurangi impor BBM, penggunaan bio-fuel, penggunaan energi batu-bara yang ramah lingkungan dan energi terbarukan. Pemerintah RI telah mencanangkan penggunaan energi terbarukan sebesar 23 % dari seluruh kapasitas produksi listrik nasional pada tahun 2025. Kenyataannya, sampai dengan akhir tahun 2020 pencapaiannya baru 11,5 %. Harian Kompas tanggal 15 Maret 2021 menyebutkan, antara tahun 2015 – 2019, rata-rata pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan di Indonesia sebesar 400 MW per tahun. Pada tahun 2018-19, PLTA menyumbang 233,9 MW, PLTP (Panas Bumi) 182,4 MW, PLTS 68,8 MW dan PLTB 10,8 MW. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia akan meningkatkan kapasitas PLTS hingga 1.430 MW pada akhir tahun 2025. Apakah rencana ini masih tetap dijalankan, mengingat Pemerintah saat ini sedang membutuhkan anggaran yang sangat besar untuk menanggulangi pandemi Covid-19 dan memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi nasional?
Dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas 2045, khususnya swasembada energi nasional yang berbasis kepada energi terbarukan, Pemerintah harus membangun roadmap energi, yang merencanakan penyediaan energi, termasuk penggunaan energi terbarukan, terminasi PLTU (batubara dan gas) secara bertahap serta penggunaan bio diesel dan PLTA, yang semuanya selaras dengan tujuan zero carbon tahun 2050. Khusus untuk pengembangan PLTS, Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan pabrik panel surya berskala besar di dalam negeri untuk memasok kebutuhan pasar dalam negeri, disamping tujuan ekspor. Demikian pula, Pemerintah perlu mendorong produksi batere nasional sejenis Powerpack, yang mampu menyimpan energi di rumah dan sebagai powerbank portable untuk para petani dan nelayan. BUMN Pertamina dan PLN perlu didorong untuk investasi di bidang pabrik solar cell dan batere. Mengingat bahan baku batere Lithium Ion cukup melimpah di Indonesia, maka sudah selayaknya juga Pemerintah memberi insentif bagi masyarakat yang membeli batere penyimpan energi surya. Ketahanan energi masyarakat dibangun dengan memberikan insentif bagi masyarakat yang memasang solar cell di rumahnya. Pemerintah perlu mendorong perbankan untuk memberikan kredit lunak bagi pemasangan solar cell dan batere.
Bagaimana dengan masa depan PLN? PLN diharapkan bertransformasi menjadi digital electric company. PLN menjadi buffer-stock listrik nasional, yang fokus kepada peningkatan efektivitas dan efisiensi bisnis listrik, antara lain dengan meningkatkan kualitas layanan listrik, meningkatkan hubungan dengan pelanggan, mengganti secara bertahap PLTU dan PLTD/Gas, serta membangun dan mengoperasikan smart-grid. Penambahan kapasitas listrik yang baru sudah harus menggunakan PLTS atau PLTB, sementara pembangkit listrik yang sudah tua dan kurang efisien, agar segera digantikan dengan PLTS atau PLTB. Demikian pula sistem distribusi perlu ditingkatkan agar rugi-rugi daya (loss)-nya berkurang dan kontinuitas layanan (availability) lebih tinggi. PLN didorong untuk membangun dan mengoperasikan charging system untuk Electrical Vehicle, menyewakan power mobility dan berbagai ide kreatif lainnya di bidang energi. Pemerintah sebagai regulator, perlu mendorong iklim usaha yang sehat dan menguntungkan bagi para pihak, sehingga IPP tertarik investasi di Indonesia. Peraturan tentang jual beli listrik harus diperbaharui, sehingga IPP dan masyarakat yang menjual listrik ke PLN mendapat harga jual yang cukup menguntungkan, sehingga investasinya cukup layak. Pemerintah perlu menyusun program kerja terpadu berikut penyediaan anggaran serta melibatkan Dewan Energi Nasional untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Semoga!