e2consulting.co.id – Energi listrik memiliki sifat khusus yakni tenaga listrik yang dibangkitkan harus dimanfaatkan saat itu juga, jika tidak maka energinya hilang. MIsalnya pembangkit listrik 100 MW dengan beban 80 MW akan mengalami kehilangan daya 20 MW jika tidak dimanfaatkan. Sisa energi yang tidak  terpakai tersebut dapat digunakan untuk memompa air kembali ke dalam bendungan PLTA, atau disalurkan ke tempat lain melalui jaringan interkoneksi antar pembangkit listrik. Saat ini,  perkembangan teknologi batere sudah semakin canggih. Sebagian dari listrik yang diproduksi dapat disimpan di dalam batere, sebagaimana layaknya powerbank Handphone. Tesla sebagai pabrikan batere Lithium-Ion telah membangun sistem power-bank yang sangat besar, yang menyimpan energi yang diproduksi oleh PLTS atau PLTB. Sebagian dari energi tersebut digunakan untuk Giga-factory Tesla (off-grid), namun sebagian lagi ditampung oleh perusahaan listrik setempat (on-grid). Kedua belah pihak saling mendistribusikan listrik sesuai dengan kebutuhan masing-masing, dan setiap bulan dilakukan perhitungan pemakaian beban dan settlement biayanya.

Pemerintah RI telah mencanangkan penggunaan energi terbarukan sebesar 23 % dari seluruh kapasitas produksi listrik nasional pada tahun 2025. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia akan meningkatkan kapasitas PLTS hingga 1.430 MW pada akhir tahun 2025. Demikian pula akan dibangun PLTA terbesar di Indonesia di propinsi Kalimantan Utara, dengan kapasitas 1.350 MW. Pembangunan PLTS dilakukan oleh Pemerintah dengan membangun PLTS di rumah-rumah masyarakat di daerah yang belum terjangkau listrik. Peran swasta dan masyarakat diharapkan untuk terlibat dalam penggunaan PLTS di kota-kota besar. Perusahaan asing seperti Tesla, Amazon dan Google sudah menggunakan PLTS untuk memenuhi kebutuhan listrik di kantor dan data-center mereka. Demikian pula dengan masyarakat negara maju, sudah banyak yang menggunakan PLTS di rumah mereka (roof-top), sebagai pendukung  catuan dari perusahaan penyedia listrik. Gaya hidup ini sudah mulai menyebar di Indonesia, dengan adanya komunitas pengguna listrik di roop-top oleh sekelompok masyarakat mampu.

Pemerintah perlu mendorong penggunaan tenaga surya dan batere di rumah-rumah untuk meningkatkan ketahanan energi rumah-tangga. Misalkan 30 % dari kebutuhan listrik dapat dipenuhi sendiri, sehingga PLN cukup menyediakan kapasitas untuk 70% lagi. Untuk itu Pemerintah perlu memberi subsidi bagi masyarakat yang mau memasang solar-cell di rumah, perkantoran dan di pabrik. Hal ini mencakup subsidi pengadaan panel solar cell dan batere Lithium Ion yang menjadi pasangannya. Dengan adanya sistem energi terbarukan di dalam rumah, kantor dan pabrik, maka akan tumbuh industri panel solar cell dalam negeri dan pabrikan batere Lithium Ion. Pemerintah perlu memberi insentif bagi pabrikan panel solar-cell. Bahan baku batere Lithium Ion banyak tersedia di Indonesia, khususnya di Sulawesi. Disamping pabrikasi, akan berkembang jasa pemasangan dan pemeliharaan sistem solar cell dan batere Lithium Ion serta Electric Vehicle Charging Station. Ketahanan energi merupakan satu ekosistem yang harus dikelola Pemerintah secara efektif, yang melibatkan masyarakat sebagai pengguna energi, industri sebagai  pemasok panel solar-cell dan batere serta sebagai pengguna energi, kontraktor dan instalator yang memasang dan memelihara perangkat milik konsumen, pemilik Electric Vehicle Charging Station dan tentunya PLN sebagai pemasok energi utama. Peluang bisnis energi terbarukan sangat besar, hendaknya momentum ini segera ditangkap para pihak di dalam negeri, kalau tidak kita hanya sebagai pengguna saja, tanpa memperoleh nilai tambah yang berarti. [lumumba sirait]