e2consulting.co.id – Baru-baru ini kita mendengar berita karyawan Net.TV diberhentikan atau mengundurkan diri?. Demikian pula, CNBC Indonesia mengulas performansi usaha TV free to air telah mengalami penurunan yang berarti. Di Amerika Serikat, pelanggan TV cable berbondong-bondong berhenti dan berpindah ke penyedia layanan TV streaming. Apa yang terjadi dan bagaimana perusahaan TV dan konten harus menyikapinya?

Net.TV yang didirikan oleh Wishnutama, seorang profesional di bidang media TV yang membesarkan Trans TV. Beliau memiliki passion yang kuat di bidang konten dan bisnis TV, rela meninggalkan posisi eksekutif puncak, kembali mulai dari awal membangun stasiun TV baru untuk segmen pasar kelas menengah atas. Net.TV menawarkan konten yang menarik, penuh dengan hiburan. Enam tahun Net.TV berjuang, namun tetap tidak menguntungkan secara ekonomis hingga muncul berita isu pemberhentian karyawan.

Najwa Shihab seorang presenter TV senior, secara tiba-tiba mengundurkan diri dari Metro TV disaat program Mata Najwa berjaya di pasar. Beliau berhenti dari Metro TV untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan masyarakat dalam mengkonsumsi media. Dia mendirikan Narasi TV, yang memproduksi konten digital, termasuk progam Mata Najwa yang berkolaborasi dengan Trans TV. Sejumlah konten digital diluncurkan dan dia membangun komunitas di berbagai kota sebagai basis pendukungnya. Trans TV yang dimiliki Chairul Tanjung menyadari perubahan perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi media. Mereka membeli detik.com yang merupakan media terkemuka dalam penyajian berita terkini, mendirikan CNN Indonesia dan mengembangkan berbagai konten. Apakah Trans TV bisa bertahan 10 tahun ke depan ditengah dirupsi media yang menggelora saat ini?

Siaran televisi nasional bermula dari penyelenggaraan Asian Games di Jakarta tahun 1962, dimana pemerintah mendirikan TVRI sebagai stasiun TV untuk sarana informasi, pendidikan dan hiburan bagi masyarakat. Stasiun TV swasta mulai berdiri tahun 1988, dimana RCTI menjadi stasiun TV swasta yang pertama dan diikuti oleh SCTV. Setelah itu makin banyak stasiun TV swasta berdiri, baik yang cakupan nasional maupun regional. Masing-masing stasiun TV bersaing dengan program yang spesifik, namun pada umumnya menyasar masyarakat menengah bawah. Perusahaan TV cable menjadi pilihan bagi masyarakat kelas menengah dan atas, yang menawarkan puluhan hingga ratusan kanal program berita, hiburan, olahraga, film dan pendidikan. Stasiun TV free to air berusaha mengembangkan bisnisnya dengan menawarkan konten baru namun tetap sulit berkembang karena jumlah pemain sangat banyak dan konten-nya hampir sama. Demikan pula perusahaan TV cable sulit berkembang karena programnya hampir sama dan hampir tidak ada konten yang spesifik yang diproduksi sendiri.

Teknologi TV digital lahir ditengah situasi bisnis siaran TV free to air yang stagnant. Pemerintah RI telah mendorong semua stasiun TV untuk beralih ke TV digital, karena pemerintah butuh spektrum frekuensi yang digunakan stasiun TV saat ini untuk layanan LTE bagi operator telekomunikasi selular. Hal ini sesuai dengan rekomendasi ITU (International Telecommunication Union) tentang penggunaan spektrum frekuensi 700 MHz dan 2600 MHz untuk teknologi LTE. TV digital menawarkan efisiensi penggunaan spektrum, dimana satu frekuensi dapat digunakan secara beramai-ramai oleh beberapa stasiun TV. Bagaimana kelanjutan stasiun TV free to air menjadi TV digital, sampai saat ini tidak ada khabar beritanya.

Disrupsi layanan TV bermula dari layanan Internet broadband berkecepatan tinggi yang dapat diakses dimana saja. Akses terhadap konten digital dapat dilakukan melalui smartphone, komputer maupun TV. Teknologi TV berkembang sangat cepat. Bermula dari TV tabung, berkembang menjadi TV plasma, LCD, kemudian LED, OLED hingga QLED. Demikian pula kualitas gambar yang diproduksi berkembang dari HD ready, full HD, 4K dan saat ini sudah 8K. Juga, TV semakin cerdas dengan features smart TV, antara lain internet TV, Google TV dan Android TV.

Perkembangan teknologi digital di bidang TV dan devices serta Internet broadband telah diantisipasi penyedia konten dengan membangun aplikasi layanan video di layar komputer, smartphone dan smart TV. Penyedia aplikasi memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk meng-upload video ke server mereka untuk dapat ditonton oleh siapa saja. Misalnya aplikasi Youtube. Lahirlah para Youtuber yang menghasilkan konten-konten yang bermutu dan menarik hingga ditonton jutaan orang. Youtuber akan menerima bayaran dari banyaknya orang yang menonton kontennya. Youtube akan menyisipkan iklan pada saat orang menonton konten dan iklan merupakan pendapatan utama mereka.

Penyedia konten analog seperti Netflix melakukan transformasi bisnisnya dari penyedia layanan sewa cakram DVD menjadi layanan video streaming. Netflix membangun layanan streaming berupa paket berlangganan konten bulanan dengan harga yang kompetitif. Netflix menghimpun sejumlah content provider yang menyediakan film, berita dan olahraga, serta membuat konten sendiri yang hanya dapat ditonton di Netflix. Layanan Netflix segera berkembang di Amerika Serikat, Eropa dan kini sudah merambah ke Asia, termasuk ke Indonesia. Netflix masih mengalami kerugian usaha, namun harga sahamnya meningkat terus karena pertumbuhan pelanggannya yang sangat pesat.

Perusahaan konten lainnya seperti Walt Disney tidak mau ketinggalan, demikian pula perusahaan telekomunikasi seperti AT&T serta Over The Top (OTT) player seperti Apple, Google dan Amazon pun sedang masuk ke bisnis content production, aggregation and distribution. Akibatnya, pelanggan TV cable tradisional berhenti berlangganan (churn) dengan angka yang sangat besar setiap bulannya, mereka berpindah ke layanan streaming yang lebih berkualitas, pilihan yang lebih sesuai, dan harga yang kompetitif.

Saat ini pendapatan stasiun TV sudah mengalami penurunan dari iklan karena pengiklan sudah beralih ke media online. Ditengah situasi berkurangnya belanja iklan dan melubernya konten di internet, apakah mereka mampu bertahan? Serbuan konten Youtube, Netflix dan OTT player yang segera akan menggempur pasar dalam negeri. Mereka harus menyadari bahwa sebagian besar masyarakat sudah tidak menonton TV free to air, pelanggan menonton TV cable hanya untuk berita live report atau breaking news, pertandingan olah raga live, menonton film dan konten khusus. Para generasi millennial dan Z telah mengandalkan layanan Youtube, melakukan streaming music dari Apple, Spotify dan music aggregator lain serta menonton konten film dari Netflix, Hooq, Iflix dan video aggregator lain. Mereka tidak mau kehilangan the best moment dalam pertandingan olahraga, misalnya gol dalam sepakbola, pemain basket yang melakukan shoot atau dunk dan momen salip menyalip motor GP serta Formula One. Mereka bersedia membayar layanan tersebut untuk dapat melihatnya secara live di layar komputer atau smartphone-nya. Namun masih banyak pemirsa yang setia dengan siaran TV nasional, mereka umumnya kaum baby boomer yang menghabiskan waktunya di rumah dan pemirsa masyarakat menengah bawah. Apakah pasar ini akan memberikan keuntungan jangka panjang, ditengah biaya operasional yang semakin meningkat dan pemasang iklan yang terbatas?
Operator stasiun TV free to air dan TV Cable harus berubah. Mereka harus bertransformasi untuk memperluas cakupan bisnisnya dan memberikan nilai tambah kepada pemirsa atau pelanggannya. Mereka harus memiliki data base pelanggan, menggunakan data analytics untuk memahami karakeristik pelanggan serta mengembangkan produksi konten yang menarik sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia dan Asia. Atau lebih jauh, menjadi pelaku industri kreatif, yang mampu bersaing dengan K-pop (misalnya). Kreativitas pengembangan usaha biasanya didapatkan pada saat keadaan mendesak atau kepepet. Mari kita bangun konten kreatif ala Indonesia melalui kolaborasi para pengusaha stasiun TV, operator telekomunikasi, penyedia konten, artis, musisi, seniman, profesional, desain grafis, dan generasi millennial serta Z. Tentunya dengan dukungan penuh dari pemerintah.[lmb]