e2consulting.co.id – Layanan 5G akan menjawab berbagai kebutuhan manusia, mesin, robot, dan berbagai sensor yang menghubungkan semua peralatan ke pusat pengolahan data. Terdapat 3 jenis layanan 5G, yakni eMBB services (enhanced Mobile BroadBand), URLLC services (Ultra-Reliable and Low-Latency  Communications) dan mMTC (massive Machine Type of Communications). Layanan eMBB adalah layanan yang mampu memberikan kecepatan internet yang sangat tinggi, yakni downlink hingga 20 Gbit/detik dan uplink hingga 10 Gbit/detik. Kecepatan ini dibutuhkan untuk layanan Web-access, Video Conference dan Games (Virtual Reality). Misalnya untuk menonton video streaming Netflix di layar TV 4K atau 8K. Layanan URLLC membutuhkan kehandalan tinggi (99,999%) dan latency < 1 mili detik. Hal ini dibutuhkan untuk critical mission seperti industrial automation, pengendalian drone, new medical equipment dan Autonomous Vehicles. Layanan mMTC ditujukan untuk melayani perangkat serentak dalam jumlah yang banyak. Peruntukannya adalah  melayani sejumlah sensor IoT (Internet of Things) yang jumlahnya tersebar sangat banyak dan memiliki daya pancar yang sangat lemah agar baterenya mampu bekerja hingga 10 tahun. Jaringan 5G Narrowband IoT atau NB-IoT akan mampu melayani hingga  1 juta devices/km2. Dengan spesifikasi layanan tersebut, eMBB membutuhkan frekuensi yang sangat tinggi agar mampu memancarkan data hingga 20 Gbit/s. Untuk itu diperlukan perangkat BTS 5G type microcell dengan frekuensi milli meter waves (misalnya frekuensi 26 GHz). Untuk layanan mMTC dibutuhkan BTS 5G type makro dengan coverage yang luas. Untuk itu cocok menggunakan frekuensi rendah, misalnya 700 MHz. Khusus untuk layanan URLLC, tergantung kepada aplikasinya, dapat menggunakan frekuensi tinggi (misalnya 26 GHz), menengah (misalnya 3,6 GHz) atau frekuensi rendah (misalnya 700 MHz) atau menggunakan unlicenced frequencies.

Pengembangan aplikasi 5G saat ini bertumbuh pesat di berbagai industri maupun untuk mendukung kebutuhan pribadi (lifestyle). Misalnya dalam pengembangan games interaktif e-Sports dan layanan TV atau konten video 8K. Demikian pula dalam industri, aplikasi Industry 4.0 atau Digital Twins, Autonomous Vehicles, drone untuk layanan logistik dan operasional lapangan, remote medical operation, blockchain, smart grid untuk penyaluran arus listrik dan berbagai solusi industri lainnya yang dibutukan untuk bertransformasi menjadi digital company.

Kehadiran teknologi 5G akan merubah pengelolaan Jaringan Operator Selular secara berarti. Hal ini berubah karena membutuhkan layanan yang super handal, penyediaan kapasitas data traffic yang harus cepat tersedia dan penjagaan mutu delay atau latency layanan yang sangat pendek. Operator Selular harus mengelola Jaringan seperti yang dilakukan para World Class Operator, dimana tersedia SDM, proses kerja dan tools yang memadai untuk menjalankannya. Sebagai pengguna layanan, masyarakat individu dan korporasi akan menggantungkan proses kerja usaha dan kegiatan pribadi kepada pelayanan Jaringan 5G oleh Operator Telekomunikasi atau Operator Selular. Misalnya, implementasi Industry 4.0 dan Autonomous Vehicles membutuhkan Jaringan 5G yang disediakan oleh Operator Selular atau bisa juga Jaringan 5G yang dikelola sendiri (non-licenced). Sebagai penyedia Jaringan 5G, Operator Selular memandang lahirnya teknologi 5G sebagai peluang untuk mendapatkan peningkatan revenue dan keuntungan perusahaan. Teknologi 5G akan membawa efisiensi biaya produksi data/byte yang jauh lebih murah, sehingga berpeluang untuk mendapatkan keuntungan usaha yang lebih besar, sepanjang Operator Selular tidak terjebak dalam perang harga jual data per Gigabyte. Operator Selular harus mengakuisisi spektrum frekuensi 5G, membangun Jaringan 5G dengan kerapatan yang tinggi, menyediakan sistem transmisi fiber optik yang mencatu semua simpul transmisi, memastikan kehandalan yang tinggi (reliabilitas 99.999%) dan menjamin latency < 1 mili-detik. Untuk itu Operator Selular harus menyediakan layanan Network Slicing atau NFV (Network Function Virtualization) yang menyediakan Jaringan khusus untuk pelanggan yang memiliki kebutuhan khusus (end to end services) dan memasang front end Edge Computing system untuk merespons transaksi yang sangat cepat tersebut. Disamping itu, Operator Selular harus memahami proses bisnis pelanggannya serta menjalankan pengelolaan Jaringan dengan bantuan Artificial Intelligent dan Machine Learning.

Untuk memastikan layanan data dengan volume data traffic yang sangat besar, diperlukan kapasitas transmisi yang menghubungkan BTS 5G ke EPC- Evolved Packet Core (Core Network). Sistem transmisi microwave dapat digunakan untuk menghubungkan  RRU (Remote Radio Unit) ke BBU (Base Band Unit), atau sebagai fronthaul yang menghubungkan RRU ke hub-RAN  dan sebagai mobile hub yang menghubungkan hub-RAN dengan EPC. Namun untuk jangka panjang tetap membutuhkan sistem transmisi fiber optik yang lebih handal dan mampu membawa beban kapasitas data yang sangat besar. Untuk itu Operator Selular harus merancang ulang sistem topologi Jaringan-nya agar mampu menyediakan Jaringan 5G yang tangguh (robust) dan berkualitas. Disamping itu, penempatan microcell di sepanjang jalan atau tiang lampu menjadi sangat strategis. Perlu kerjasama antar Operator Selular dengan Pemerintah Kota agar pemasangan Jaringan 5G ini dapat terlaksana secara cepat dengan biaya investasi dan operasional yang terjangkau. Frekuensi menjadi tantangan utama dalam pembangunan Jaringan 5G. Sejauh ini Pemerintah RI masih mendorong pemakaian spektrum frekuensi 26 GHz. Untuk tahap awal, Operator Selular membutuhkan frekuensi rendah di awal penggelaran Jaringan 5G, yakni sejumlah BTS makro 5G yang cakupannya luas, berfungsi sebagai umbrella coverage. Hal ini supaya investasi awal tidak terlalu besar dan penyediaan coverage 5G dapat segera dilakukan secara cepat. Setelah pelanggan mulai berkembang dan aplikasi layanan 5G banyak tersedia di pasar, maka Operator Selular secara bertahap membangun BTS 5G microcell yang padat dan continue coverage-nya di wilayah kerja pelanggan tertentu (misalnya SCBD, Kawasan Industri, Airport dll). Namun penggunaan frekuensi rendah ini masih sulit diwujudkan di Indonesia. Operator Selular di Indonesia kesulitan menggunakan frekuensi 700 MHz dan 2600 MHz untuk layanan LTE karena masih digunakan Stasiun Pemancar Televisi (700 MHz) dan Operator TV berbayar (2600 MHz). Untuk penggunakan spektrum 3,6 GHz untuk 5G juga akan mengalami kendala karena masih digunakan oleh Operator Telekomunikasi untuk layanan satelit.

Para Operator Selular sejauh ini sudah melakukan uji coba penggunaan Jaringan 5G berikut aplikasinya. Semuanya berhasil, demikian pula pengalaman dari Operator Selular di seluruh dunia yang sudah mengoperasikan 5G telah memberikan informasi tentang kecepatan layanan dan latency. Sekarang, tinggal kesiapan dan kesungguhan Pemerintah RI untuk meluncurkan teknologi dan layanan 5G! Seperti persiapan layanan 2G, 3G dan 4G di masa lalu, Operator Selular hanya butuh frekuensi dari Pemerintah, selebihnya mereka yang berupaya untuk membangun dan mengoperasikannya. Kita sangat berharap agar Pemerintah segera menerbitkan kebijakan tentang teknologi 5G dan penetapan spektrum frekuensinya serta melakukan tender frekuensi pada tahun 2020. Semoga! [lumumba sirait]