e2consulting.co.id – Tulisan kali ini mengulas tentang Digital Lifestyle yakni gaya hidup baru dalam bekerja, dimana seseorang melakukan transformasi digital di dalam menjalankan pekerjaannya, bekerja dari mana saja, tidak tergantung kepada lokasi kantor yang menetap. Dimasa lalu, bekerja diluar kantor hanya dilakukan oleh tenaga penjualan (sales) yang melakukan penjualan kepada pelanggan dan calon pelanggan. Dengan adanya devices atau gadget, tenaga penjualan melakukan transaksi secara online dengan cara mendaftarkan pelanggan baru ke dalam layanan aplikasi penjualan untuk diproses lebih lanjut. Dengan berkembangnya Jaringan Internet dan aplikasi perkantoran maka karyawan dapat bekerja dari luar kantor secara efektif. Demikian pula para konsultan, start-up company dan penjual online dapat bekerja dari rumah, Virtual Office atau co-working space atau bahkan dari café dan restoran.
Gaya hidup generasi millennial sudah berubah, mereka tidak terikat dengan lokasi kerja kantor. Mereka dapat bekerja dari mana saja, waktu kerja yang fleksibel, tidak terikat jam kerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Mereka membutuhkan suasana kantor yang homy agar mampu berkreasi secara optimal dan rileks serta going for extra miles. Rapat dengan client tidak selalu harus di kantor, namun lebih efektif dilakukan di café atau restoran. Gaya hidup bekerja mobile mendorong lahirnya perusahaan virtual (Virtual Office), tempat kerja bersama (co-working space), dan café atau foodcourt yang sekaligus berfungsi menjadi tempat bekerja atau tempat rapat.
Gaya hidup digital membutuhkan dukungan DNA (Devices), Network and Applications. Devices yang paling sering digunakan bekerja diluar kantor adalah smartphone, tablet dan note book yang mengolah materi pekerjaan. Network adalah Jaringan Internet yang disediakan oleh Operator Selular atau penyedia jaringan WiFi. Sementara aplikasi adalah software aplikasi kerja perusahaan atau aplikasi Microsoft Office. Dengan tersedianya sarana kerja ini maka setiap individu terhubung ke kantor secara online dan hasilnya dapat diproses oleh bagian yang terkait.
Kita sering mendengar sejarah orang-orang hebat di bidang IT yang memulai pekerjaannya dari garasi rumah. Dengan keterbatasan modal kerja, perusahaan start-up biasanya membangun bisnisnya dari rumah. Namun bagi start-up yang sudah punya sumber dana, mereka mengembangkan bisnisnya dari co-working space. Penyediaan co-working space, bermula dari Silicon Valley US, dimana banyak para lulusan perguruan tinggi datang kesana untuk mengembangkan berbagai aplikasi bisnis start-up. Disana mereka dapat bertukar pikiran dengan sesama pelaku start-up dan mencari coach & mentor yang membimbing mereka dalam mengembangkan usaha serta berhubungan dengan calon investor. Mereka bekerja dari rumah atau co-working space, untuk melakukan inkubasi bisnis. Proses inovasi yang kondusif ini menghasilkan banyak produk dan jasa serta pengusaha start-up yang berhasil dari Silicon Valley. Ekosistem disana sangat mendukung, termasuk penyediaan co-working space yang di rintis oleh kaum muda pula. Salahsatu perusahaan co-working space yang terkemuka adalah WeWork.
WeWork berdiri pada bulan Mei tahun 2010 di New York Amerika Serikat oleh Adam Neumann dan Miguel McKelvey, yang menyediakan layanan co-working space dengan konsep eco-friendly. WeWork mengembangkan konsep komunitas yang menghimpun para start-up dan pemilik gedung perkantoran. WeWork berkembang pesat ke seluruh dunia karena pelayanan yang sangat menyenangkan dengan harga sewa yang terjangkau. Di Jakarta terdapat beberapa lokasi kerja WeWork di Noble House Mega Kuningan, Menara Astra, Sinar Mas MSIG Tower, Revenue Tower, South Quarter, dan Gama Tower. Namun baru-baru ini WeWork diterpa badai pada saat akan go-public, dimana para calon investor telah mengungkap prospektus bisnis WeWork yang tidak menjanjikan tentang pengelolaan usaha, baik tentang model bisnis, kerugian usaha dan kurangnya leadership pendirinya. (sumber dari Wikipedia).
Co-working space berkembang di seluruh dunia, mulai dari Silicon Valley hingga ke Bali. Co-working space bertumbuh di Amerika Serikat di San Fransisco, New York, Miami, Seattle hingga kota-kota besar lainnya. Di Eropa bertumbuh di London, Paris, Berlin dan kota-kota besar lainnya, sementara di Asia berkembang di Hongkong, Singapura, India, Indonesia dan negara-negara besar lainnya. Muncul istilah digital nomadic, dimana warga start-up dunia dapat berpindah-pindah lokasi kerjanya untuk mendapatkan aspirasi dan motivasi kerja serta untuk biaya biaya operasional yang lebih murah. Para start-up memilih lokasi kerja yang dianggap nyaman dengan harga terjangkau. Kota-kota lain yang lebih kecil seperti Penang Malaysia, Riga di Estonia dan Bali menjadi tujuan co-working yang lebih menarik. Misalnya di Bali, dengan biaya kurang dari USD 50 per hari, seseorang dapat mengerjakan proyeknya selama berbulan-bulan. Setelah proyek mendekati rampung, mereka pulang ke negara asalnya untuk mempersiapkan komersialisasi produk atau layanannya.
Bagaimana dengan kondisi bekerja di luar kantor di Indonesia? Perusahaan di dalam negeri pada umumnya masih bekerja secara manual, kecuali bagian sales dan marketing yang berada di lapangan untuk mendekati pelanggan dan menganalisis pasar serta melakukan penjualan. Pekerjaan teknis dan administrasi lainnya masih dilakukan secara terpusat di kantor dan sering membutuhkan tatap muka atau rapat dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Untuk dapat bekerja efektif dari luar kantor, sebuah perusahaan harus memiliki proses bisnis yang mengalir, jelas sumber input dan output-nya, hasil kerja yang diharapkan dan waktu penyelesaian pekerjaan, serta prosedur eskalasi permasalahan yang terjadi. Apabila proses bisnis ini sudah terdokumentasi dan dijalankan secara optimal dan bahkan sudah berbasis proses bisnis digital, maka semua orang bisa bekerja secara mandiri dari mana saja, dengan kesadaran penuh akan tugas dan tanggungjawab yang harus dijalankannya. Bila hal ini belum bisa berjalan otomatis, maka perlu waktu untuk penyesuaian serta membangun kesadaran untuk bekerja berbasis proses. Untuk itu perlu dibuat aplikasi perkantoran yang dapat diakses secara mobile. Dan yang lebih utama adalah kesadaran dari para pekerja agar memiliki integritas yang tinggi akan tugas dan tanggungjawabnya dalam mencapai target penyelesaian proyek atau mengerjakan tugas tepat pada waktunya, sehingga tidak ada keterlambatan dalam satu proses kerja yang utuh.
Disamping para start-up dan karyawan, para professional dan pengusaha juga sudah mulai bekerja dari luar kantor. Kini berkembang konsep SOHO (Small Office Home Office), dimana pengusaha UMKM menjalankan bisnisnya dari rumah. Mereka jualan secara online dan bekerja multi tasking. Disamping menjual barang dan jasa, mereka juga melakukan digital marketing, membuat database pelanggan, memelihara hubungan dengan pelanggan serta menjalankan pekerjaan lainnya. Demikian pula pekerja konsultan, mereka tidak perlu terikat dengan lokasi kerja, karena mereka akan lebih banyak bekerja di tempat client atau bekerja dari rumah atau co-working space, karena client biasanya menyediakan tempat kerja dan ruang rapat internal.
Bagaimana dengan anda? Apakah anda masih bekerja di kantor, atau sudah bekerja dari rumah atau dari mana saja? Mari kita gunakan waktu kita secara efektif dan efisien untuk menghasilkan karya terbaik. Fleksibilitas bekerja dari mana saja akan membuat hidup kita lebih nyaman, dinamis dan senantiasa mengalami pengalaman yang berbeda. Tentunya akan membuat kualitas hidup yang lebih baik dan menyenangkan! [lumumba sirait]