e2Consulting.co.id – Pembahasan kita kali ini tentang antisipasi bencana yang dapat mengganggu keberlangsungan usaha korporasi maupun layanan masyarakat oleh Pemerintah. Tanggal 1 Januari 2020 telah terjadi banjir besar di DKI, Jabar dan Depok yang mengakibatkan dampak yang sangat besar bagi masyarakat dan Pemerintah. Banjir menjadi isu politik di Jakarta yang menyebabkan para pihak gagal fokus tentang pembelajaran dari kejadian banjir tersebut.

Dalam menghadapi situasi dan kondisi yang tidak terduga seperti bencana, berbagai organisasi dan Pemerintah telah membuat standard pengelolaan yang dikenal dengan Business Continuity Management (BCM). BCM adalah adalah proses manajemen terpadu yang mengidentifikasi ancaman potensial terhadap organisasi dan dampaknya terhadap operasional bisnis, yang jika terwujud, dapat dan menyediakan kerangka kerja untuk membangun daya lentur (resilience) organisasi yang mampu memberikan respons secara efektif didalam melindungi kepentingan para stakeholder, reputasi, brand dan aktivitas nilai tambah yang dihasilkan. Berbagai risiko seperti bencana alam, wabah penyakit, kebakaran yang meluas, demo karyawan secara terus menerus, ancaman pailit perusahaan dan kerusakan infrastruktur yang bersifat meluas, termasuk dalam ranah BCM.

Menurut laporan World Economy Forum dalam World Risk Report 2020 bahwa perubahan iklim akan menghantam lebih besar dan lebih sering daripada yang diperkirakan. Demikian pula Mc.Kinsey Global Institute dalam laporannya pada bulan Januari 2020 tentang Climate risk and response menyatakan bahwa perubahan iklim telah secara berarti berdampak fisik terhadap tingkat lokal di suatu kawasan dan melanda seluruh dunia, dimana daerah yang berdampak akan semakin meluas dan jumlahnya makin sering. Hal ini juga menjadi perhatian penting bagi Pemerintah dan masyarakat RI. Potensi banjir 5 tahunan yang menyerang ibukota Jakarta bisa jadi akan lebih sering terjadi dan dampaknya semakin besar pula. Demikian pula kabut asap yang melanda pulau Sumatera dan Kalimantan akan muncul setiap tahun. Ancaman lain adalah bencana tsunami dan gempa bumi yang mengancam di sebagian besar wilayah tanah air. Untuk mengantisipasi atau merespons bencana ini sudah saatnya Pemerintah dan masyarakat bersama-sama menyusun dan menjalankan BCM secara sungguh-sungguh.

Berbagai standar internasional telah diterbitkan, diantaranya adalah Business Continuity Management System Standard ISO 22301 tahun 2012 dan revisinya tahun 2019. ISO 22301 mencakup Context of the organization, Leadership, Planning, Support, Operation, Performance evaluation and Improvement. Dalam pengertian yang lebih sederhana adalah pelaksanaan PDCA (Plan, Do, Check, Act). ISO 22301 dapat diterapkan untuk semua jenis dan besar organisasi, baik untuk perusahaan besar dan sedang maupun untuk organisasi Pemerintahan seperti PEMDA. ISO 22301 membahas tentang organisasi dan dukungan pemimpin dalam mempersiapkan penanganan bencana. Hal ini mencakup penyusunan organisasi ad-hoc yang membuat kebijakan BCM, penyediaan SDM dan anggaran serta kewenangan para pihak yang terkait penanganan bencana. Tahap perencanaan BCM sangat penting, yakni mulai dari pelaksanaan risk assessment dan mengkaji BIA (Business Impact Analysis) dari kejadian langka namun memiliki dampat yang sangat besar. Risk respons merupakan langkah mitigasi risiko, yang dapat berupa perbaikan infrastruktur bisnis, penyiapan para pihak yang akan menangani bencana, termasuk mempersiapkan masyarakat atau pelanggan yang menjadi korban bencana, melakukan testing (rehearsal) atas peralatan atau infrastruktur bisnis serta latihan kesiapan SDM dan masyarakat menghadapi bencana. Dengan persiapan yang matang ini maka pada saat bencana terjadi, para pihak akan siap dan terampil dalam menghadapinya. Hal ini berkat berfungsinya Crisis Management Team (CMT) atau Badan Penanggulangan Bencana yang memberikan komando terpadu atas pelaksanaan kerja di lapangan. Hal ini menyangkut komunikasi kepada para pihak terkait, penyelamatan jiwa atau korban bencana, perbaikan infrastruktur dan penyediaan layanan minimal kepada pelanggan.

Pada umumnya, PEMDA dan perusahaan besar sudah memiliki Badan Penanggulangan Bencana, berikut SOP yang diharus dijalankan. Pertanyaannya, apakah mereka sudah memiliki kajian lengkap tentang risiko bencana dan dampak yang akan ditimbulkannya? Dan apakah mereka sudah membuat langkah mitigasi yang efektif dan rutin melakukan latihan penanggulangan bencana? Hal ini yang perlu dikaji ulang oleh perusahaan besar, Pemerintah Pusat dan PEMDA Propinsi, Kota dan Kabupaten, untuk mengkaji kembali risiko bencana dan BIA-nya. Risiko banjir di kota-kota besar memiliki probabilitas yang ditinggi di musim hujan dengan dampak yang lebih besar. Mitigasi risikonya antara lain adalah normalisasi atau naturalisasi sungai-sungai, pembuatan reservoir penampung air hujan dibawah tanah, membangun waduk, menyiapkan rumah pompa dengan jumlah dan kapasitas memadai, melatih masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi banjir, membuat sistem informasi tentang kondisi lapangan secara real-time. Disamping itu, perlu dipersiapkan tempat pengungsian yang aman, penyediaan makanan, sanitasi dan obat-obatan.

Negara-negara maju seperti Jepang, Australia dan Amerika Serikat sudah menjalanakan BCM secara konsisten. Mereka sudah teruji menghadapi bencana dengan dampak risiko yang minimal. Namun kejadian yang diluar perkiraan manusia masih saja terjadi (act of God), dimana pada saat penyusunan BIA dan mitigasinya tidak separah yang diperkirakan atau biaya mitigasinya sangat mahal sehingga residual risk-nya diterima. Bagaimana dengan kondisi Indonesia, apakah korporasi maupun Pemerintah sudah siap menghadapi bencana? Apakah sudah ada tata kelola perusahaan dan Pemerintah yang mengacu ke standard Internasional dan apakah kita sudah siap untuk menginvestasikan BCM yang berbiaya mahal dan tidak menghasilkan keuntungan jangka pendek? Semoga kita tanggap menghadapi bencana dimasa depan!