e-consulting.co.id – Hari Minggu tanggal 4 Agustus 2019 jam 11.48, kita dikejutkan dengan BO (Black Out) pasokan listrik PLN di sebagian besar pulau Jawa Bagian Barat. Kehidupan di rumah sangat terganggu. Pompa air, kulkas, kompor listrik, siaran TV, sinyal wifi, kolam ikan koi dan berbagai peralatan yang membutuhkan listrike, tidak berfungsi selama 8 jam atau bahkan lebih. Infrastruktur Telekomunikasi Selular pun terganggu, layanan aplikasi Super Apps dan pesan online lainnya menjadi terganggu karena sinyal Operator Telekomunikasi Selular hilang, demikian pula ATM yang menggunakan sinyal telepon selular, Kereta Api Listrik dan MRT tidak berfungsi. Hari Senin tanggal 5 Agustus 2019 pagi, presiden Jokowi datang ke kantor pusat PLN dan menyatakan ketidakpusannya dengan layanan PLN. Mengapa kejadian BO bisa berulang terjadi?
Listrik merupakan kebutuhan utama masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Penyedia jasa seperti Operator Telekomunikasi, Bandara, Air minum, Kereta Api, Jalan Tol, Bank, Rumah Sakit dan Industri sangat tergantung pada layanan PLN. Perangkat listrik dan elektronik yang digunakan pada umumnya memiliki UPS (Uninterrupted Power Supply) yang mampu melayani beban selama 2 hingga 8 jam bila pasokan PLN menghilang. Hal ini didasarkan kepada perkiraan kehandalan PLN yang akan menyala kembali kurang dari 4 jam setelah aliran listrik padam. Dalam perancangan Jaringan Telekomunikasi Selular, perangkat Core Network memiliki UPS yang mampu bekerja selama 8 jam dan di back-up catu daya Genset, sehingga kehandalan catudayanya hampir 100 %. Sementara perangkat BTS yang tersebar di seluruh penjuru, UPS nya dirancang untuk melayani trafik selama 2 sampai 4 jam. Sebagian dari perangkat BTS yang melayani pelanggan VIP dan trafik-nya tinggi (kelas platinium) diback-up pula dengan Genset portable. Hal inilah yang menyebabkan banyak BTS yang tetap berfungsi, tetapi sebagian lagi mati setelah 4 jam aliran listrik padam. Demikian pula infrastruktur penting lainnya, masih tetap beroperasi dalam kapasitas terbatas karena di back-up oleh Genset. Bandara, Hotel, Mall, Rumah Sakit dan instalasi penting lainnya, memiliki Genset yang digunakan untuk melayani sebagian beban penerangan, AC, lift, peralatan rumah-sakit, ATC (Air Traffic Controller), serta perangkat penting lainnya.
Apa yang kita petik dari kejadian tersebut? Rancangan layanan publik di Indonesia belum setara dengan layanan di negara-negara maju. Demikian pula tata kelola perusahaan nasional belum setara dengan perusahaan global WCO (World Class Operator) yang menerapkan standard layanan yang sangat tinggi (availability) terhadap layanan publik. Perusahaan WCO memiliki standard yang sangat tinggi terhadap reliabilitas layanan, misalnya availability 99. 9999 %, sementara perusahaan di negara berkembang masih di angka 99.999 %. Availability 99.999 % artinya layanan terputus diperbolehkan selama 525, 6 menit dalam satu tahun, sementara availability 99.9999 % memiliki toleransi layanan terputus hanya sebesar 52,56 menit dalam satu tahun. Makin tinggi availability yang dipersyaratkan, maka makin besar biaya untuk mencapainya. Untuk mencapai target availability yang tinggi, WCO membangun system proteksi berganda hingga lapis tiga (triple) demi untuk memastikan layanan tetap berjalan bila satu hingga dua system jaringan mengalami gangguan. Dalam perencanaan jaringan, mereka memasukkan faktor-faktor safety yang tinggi. Disamping itu, perusahaan WCO memiliki Business Continuity Planning (BCP) dan Disaster Recovery Plan (DRP) yang teruji. BCP disusun berdasarkan kepada pelaksanaan Manajemen Risiko yang mengkaji semua kejadian yang langka tetapi memiliki dampak yang sangat besar. Misalnya, kejadian robohnya menara listrik, putusnya kabel power, gagalnya pembangkit listrik, gangguan besar pada gardu induk, intrusion atau penyusupan virus pada system pengendalian beban listrik dan sebagainya. Dari semua kemungkinan keterjadian tersebut disusun BIA (Business Impact Analysis)-nya, yakni dampak gangguan terhadap pelanggan, kerugian usaha dan reputasi usaha. Dengan memperhitungkan kemampuan keuangan perusahaan, maka disusun Business Continuity Plan, antara lain berupa program memperbaiki konfigurasi dan kapasitas system jaringan, pembuatan proses bisnis pada saat kondisi emergency hingga crisis, pembentukan Crisis Management Team, dan berbagai respons lainnya. Demikian pula, instalasi untuk memperbaiki kehandalan jaringan dipasang (contingency) dan diuji secara berkala. Crisis Management Team akan melakukan testing dan rehearsal, yang akan mensimulasikan berbagai kejadian yang mungkin terjadi di lapangan. Hal ini seperti latihan pemadam kebakaran di gedung-gedung bertingkat tinggi.
Dari kejadian diatas, setiap perusahaan layanan publik di Indonesia wajib memiliki unit manajemen risiko yang mengelola Business Continuity Plan atau Disaster Recovery Plan (DRP) Perusahaan. Perusahaan penerbangan, pertambangan dan kereta api, memiliki risiko yang sangat besar, khususnya dengan ancaman nyawa manusia, baik karena kecelakaan kerja atau bencana alam. Risiko yang terkait dengan keselamatan kerja dan nyawa manusia sangat penting dimitigasi melalui program HSE (Health, Safety and Environtment) dan menjalankan BCP secara efektif. Sementara risiko terganggunya layanan publik yang bersifat masif seperti listrik padam (Black Out), Telekomunikasi dan Internet, layanan Super Apps, Bank dan layanan Pemerintah, perlu dimitigasi dengan membangun BCP dan menjalankan DRP. Dengan adanya DRP, maka pada saat bencana terjadi, layanan dapat segera dipulihkan dengan mengalihkan pusat pengendali beban ke system cadangan (contingency).
Business Continuity Planning juga menyangkut risiko pemogokan karyawan, termasuk karyawan outsourcing, bencana alam, dan wabah penyakit, yang berpotensi menyebabkan tenaga kunci berhalang bekerja untuk waktu yang cukup lama. Sistem BCP memang membutuhkan biaya investasi dan biaya operasional yang cukup besar, tapi dampaknya terhadap pelayanan sangat besar dan kita bekerja lebih nyaman.
Aplikasi teknologi digital saat ini sudah berkembang pesat, khususnya dengan penerapan teknologi Internet of Things (IoT), Big Data dan Artificial Intelligent (AI). Rangkaian teknologi ini dan manajemen pengelolaannya disebut sebagai digital twins. Perangkat-perangkat penting dipasangi sejumlah sensor untuk memantau kondisi peralatan dan performansinya. Jaringan IoT menghubungkan semua perangkat ke pusat pengendali, dimana sensor IoT mengirimkan informasi secara berkala ke server pengolah data. Melalui aplikasi Big-Data, performansi dari setiap perangkat dievaluasi, misalnya suhu, tekanan udara, tegangan dan arus listrik, regangan kabel listrik dan performansi perangkat. Dengan adanya kumpulan data yang terkumpul dari hari-hari sebelumnya, peralatan dapat diprediksi performansinya dan kapan akan rusak. Tentunya, peralatan perlu segera diganti sebelum kerusakan terjadi. Dengan penggunaan teknologi digital twins tersebut, layanan akan terjaga dengan baik, biaya pemeliharaan akan lebih murah dan gangguan yang akan terjadi dapat diprediksi lebih awal.
Bencana pelayanan publik tidak hanya terjadi di PLN, telah terjadi di Operator Telekomunikasi dan Jalan Tol (Brexit), kemungkinan akan terjadi pula di layanan publik lainnya. Untuk memperkecil kemungkinan bencana dalam pelayanan pubik, mari kita tingkatkan kehandalan layanan Infrastruktur dengan:
- Melakukan audit terhadap kondisi fisik Infrastruktur dan jaringannya, serta memastikan sumber-sumber penyebab gangguan yang bersifat bencana.
- Memperbaiki konfigurasi perangkat keras Infrastruktur berikut perangkat lunak-nya serta membangun kapasitas cadangan (contingency) yang berfungsi sebagai Disaster Recovery Centre.
- Membangun dan memutahirkan tata kelola operasional, termasuk prosedur BCP serta menjalankannya secara konsisten.
- Melakukan latihan secara berkala (rehearsal), untuk memahirkan pegawai dan manajemen bekerja pada saat gangguan besar terjadi.
- Memutahirkan system monitoring perangkat Infrastruktur dengan memasang system digital twins, yakni penggunaan IoT, Big Data dan Artificial Intelligent dalam satu kesatuan Network Management System Monitoring & Controlling.
- Membangun kompetensi SDM yang ahli dalam menghadapi bencana dan mampu berkomunikasi secara efektif kepada Stakeholder.
- Membangun komunikasi secara berkala dengan Stakeholder tentang peningkatan mutu layanan, pengelolaan Infrastruktur dan hambatan operasional yang sering dihadapi.[lumumba]