e2consulting.co.id – Pembahasan kita kali ini tentang Fintech atau Financial Technology yang akhir-akhir ini menjadi topik pembicaraan yang hangat karena telah mendisrupsi layanan perbankan. Semua bank sudah menyadari dan merasakan ancaman Fintech ini, ada yang sudah merespons dengan membangun layanan internet banking dan aplikasi mobile banking serta ada pula yang melakukan transformasi digital, namun ada pula bank yang masih menunggu.
Menurut Wikipedia, Fintech adalah penerapan teknologi dan inovasi yang bertujuan bersaing dengan metoda finansial tradisional dalam menyediakan layanan finansial. Fintech saat ini telah berkembang pesat di seluruh dunia, yang memberdayagunakan teknologi untuk meningkatkan aktivitas keuangan. Perkembangan Fintech bermula pada saat krisis keuangan tahun 2008. Krisis subprime mortgage telah memperlihatkan betapa lembaga keuangan kurang berhati-hati dalam mengembangkan dan menjual produk-nya sehingga merugikan banyak nasabah. Nasabah tidak puas dengan bank, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah krisis keuangan tersebut, Pemerintah Amerika Serikat membuat aturan perbankan yang lebih ketat. Akibatnya, bank sibuk mengikuti aturan kepatuhan yakni dengan menyempurnakan proses bisnis dan memperbaiki teknologi pendukung layanan perbankan. Nasabah bank tidak memiliki pilihan yang banyak bagaimana mengelola uangnya untuk menghasilkan return yang optimal. Demikian pula nasabah tidak mudah untuk mendapatkan pinjaman uang dari bank, proses verifikasi dan persetujuan cukup lama serta bunga pinjaman cukup mahal. Sementara itu, terdapat sejumlah masyarakat yang belum layak bank tetapi banyak melakukan transaksi keuangan. Dari sinilah Fintech mulai berkembang, seiring dengan lahirnya smartphone dan makin membaiknya layanan Mobile Broadband.
Layanan perbankan sudah berlangsung ratusan tahun. Secara garis besar layanan perbankan terdiri dari 4 jenis, yakni account management, lending & financing, payment dan capital market. Bank membuat segmentasi pelanggan terdiri dari nasabah retail, komersial dan pelanggan korporasi. Bank di seluruh dunia sibuk mengelola uang nasabah, menciptakan produk-produk baru supaya uang nasabah tetap berputar, menjalankan transaksi pembayaran dan pengiriman uang. Bank mendapat keuntungan dari layanan simpan pinjam dan dari setiap transaksi nasabah yang terjadi. Bank menghimpun dana masyarakat dengan menawarkan bunga deposito yang kompetitif dan menyalurkannya ke nasabah peminjam dan membeli surat berharga, reksadana, pasar uang dan instrumen finansial lainnya. Bank menjalankan usahanya secara prudent dengan pengawasan yang ketat dari Bank Indonesia. Bank mengembangkan pelayanannya dengan membangun kantor cabang dan kantor cabang pembantu, serta menawarkan berbagai produk yang menarik nasabah dan calon nasabah. Dengan berkembangnya teknologi, bank-bank besar di Indonesia sudah menyediakan layanan Internet banking dan mobile banking. Namun sebagian bank masih belum melakukannya karena membutuhkan biaya investasi yang besar. Untuk meningkatkan pelayanan, bank menempatkan ATM di tempat-tempat strategis dan bahkan mengelola ATM bersama antar bank. ATM yang tadinya hanya berfungsi sebagai tarik tunai, namun saat ini sudah melayani setor tunai. Akibatnya, nasabah semakin jarang berkunjung ke bank, sehingga banyak kantor cabang/pembantu yang ditutup. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kantor cabang dan mengurangi biaya operasionalnya.
Kehadiran Fintech sungguh merisaukan masyarakat perbankan. Salah seorang eksekutif bank menyatakan “We thought we knew our customers, but Fintech really know our customers”. Demikian pula Jamie Dimon, seorang eksekutif bank J.P Morgan mengatakan “Silicon Valley start-up are coming to eat Wall Street’s lunch”. Dari hasil survey PwC tahun 2016, disrupsi bank yang terutama di layanan consumer banking, fund transfer & payment, Investment & Wealth Management dan SME banking. Empat ancaman terbesar bisnis perbankan adalah pressure of margin, loss of market share, information security dan customer churn.
Layanan Mobile Broadband dengan teknologi 3G sudah mulai berkembang semenjak tahun 2004, demikian pula smartphone yang menjadi akses bagi orang untuk dapat berselancar di dunia maya. Para pelaku start-up berlomba-lomba mengembangkan aplikasi, termasuk aplikasi Financial Services yang memanfaatkan kelemahan layanan Financial Services perbankan. Lahirlah aplikasi Fintech yang mendisrupsi layanan perbankan. Aplikasi Fintech dimulai dari payment system dan lending system karena kedua layanan ini yang paling dibutuhkan masyarakat. Fintech mulai berkembang pesat pada tahun 2016 sesuai dengan berkembangnya usaha rintisan start-up, teknologi 4G dan smartphone yang makin canggih. Fintech hadir dengan mengawinkan teknologi ke dalam sistem layanan keuangan. Terdapat 4 layanan yang ditawarkan yakni peminjaman, alat pembayaran, P2P (Peer to Peer) lending dan Perbandingan Layanan Bank & Asuransi. Saat ini Fintech juga sudah berkembang ke layanan Capital Market. Fintech telah menyebar hingga ke pelosok negeri sesuai dengan keberadaan sinyal Operator Selular dan layanan Data yang disediakan.
Di Indonesia Fintech lahir sebagai layanan pinjaman dan alat bayar. Aplikasi layanan peminjaman tumbuh bagaikan jamur dan menyasar kepada masyarakat bawah serta pelaku usaha UMKM yang membutuhkan modal kerja. Fintech menawarkan proses persetujuan pinjaman yang cepat, bunga pinjaman yang kompetitif dan tidak membutuhkan agunan hingga nilai tertentu. Perusahaan Fintech seharusnya harus berbadan hukum, terdaftar di OJK dan Kominfo, supaya nasabah terlindungi dan tata kelola usahanya berjalan baik. Mungkin banyak perorangan yang berhasil usahanya karena bantuan Fintech, namun kita sering mendengar keluhan masyarakat karena perusahaan Fintech mempermalukan peminjam yang tidak mau melunasi hutangnya.
Aplikasi Fintech P2P menawarkan jasa perantara antara pemilik uang dengan pemilik proyek yang butuh uang. Aplikasi P2P berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan calon Investor dengan pemilik proyek, dia tidak terlibat dalam proses, hanya mendapatkan management fee atas proyek yang berhasil didapatkan pendanaannya. Pemilik proyek mengajukan proposal melalui aplikasi P2P untuk ditawarkan kepada calon Investor, dengan masa pengembalian uang selama perioda tertentu dengan bunga yang menarik. Investor akan mendapatkan uangnya kembali berikut bunganya setelah masa kerjasama berakhir, namun Investor menanggung risiko apabila proyek gagal. P2P success story belum banyak terekspose ke masyarakat demikian pula kegagalan yang terjadi. Mungkin karena Investornya sudah siap menanggung risiko dan peminjam tidak mau diekspose.
Fintech di bidang alat pembayaran (Payment system) berkembang sangat cepat di Indonesia. Bermula dari uang elektronik yang diluncurkan oleh Operator Selular, perbankan dan penyedia layanan lainnya hingga muncul para start-up yang mengembangkan ecosystem bisnis tersendiri. Start-up seperti Go-jek melahirkan Go-pay. Korporasi besar seperti Lippo Group meluncurkan OVO, demikian pula pemodal besar lainnya menerbitkan Doku, Dana, Sakuku, dll. BUMN menggabungkan seluruh uang elektroniknya menjadi LinkAja. Perusahaan e-Commerce tidak ketinggalan untuk menerbitkan alat bayarnya seperti Lazada Credit dan Shopee Pay. Mungkin sebentar lagi akan diikuti oleh Tokopedia dan Bukalapak. Bank tidak ketinggalan meluncurkan dompet digitalnya seperti Go Mobile dari CIMB Niaga dan Jenius dari BTPN. Fintech Payment system telah berkembang menjadi alat bayar di kota-kota besar, antara lain untuk membayar jasa ride-hailing, beli makanan/minuman, beli pulsa/token dan barang/jasa lainnya. Fungsi bank sebagai penyelenggara payment system dilewatkan, sehingga mengurangi pendapatan bank.
Di luar negeri telah berkembang Fintech untuk layanan Capital Market, yang memudahkan individu untuk melakukan investasi di berbagai instrumen pasar uang sehingga berpotensi menghasilkan return yang lebih baik dibandingkan jika di kelola oleh bank. Layanan ini merupakan saingan terhadap layanan Investment & Wealth Management yang ditawarkan bank. Generasi millenial dan Z yang memiliki uang berpotensi untuk menjadi nasabah premium bank atau melakukan transaksi Fintech secara mandiri untuk mengasilkan return yang lebih besar.
Semua transaksi keuangan dapat terlaksana akibat adanya hubungan antara device (umumnya smartphone) dengan aplikasi Fintech melalui Jaringan Selular. Teknologi yang mendukung Fintech antara lain adalah Big data, Artificial Intelligent (AI), IoT dan Bitcoin. Dengan penggunaan teknologi tersebut, proses financial operation dioptimalkan, peluang investasi yang lebih menguntungkan digali dan security layanan dipastikan serta tata kelola atau governace ke regulator (misalnya OJK) dapat dipenuhi.
Fintech telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. OJK sebagai regulator dan KOMINFO sebagai pengendali sistem informasi perlu menata usaha Fintech agar bertumbuh secara sehat dan melindungi masyarakat serta agar mampu bersaing dengan bank secara fair. Yang paling utama merespons Fintech ini adalah perbankan, bagaimana bank harus mampu memberikan pelayanan yang setara dengan Fintech dan menjangkau masyarakat yang belum layak jadi nasabah serta tetap menjadi pusat penyimpanan uang masyarakat secara prudent. Bank harus bertransformasi menjadi digital banking, melayani masyarakat lebih baik dan membantu perekonomian masyarakat. Bank harus memahami apa yang dibutuhkan nasabah pribadi, UMKM dan perusahaan menengah/besar agar mereka bertumbuh. Dengan pemahaman dan penyediaan solusi tersebut, pasti bank dan nasabahnya akan tumbuh bersama-sama. Go beyond traditional services ! [lumumba Sirait]