e2consuting.co.id – Kita telah mendengar kabar baik tentang produksi dan rencana penyuntikan Vaksin Covid-19 dalam waktu dekat. Berita ini telah membawa harapan untuk pemulihan ekonomi global maupun nasional. Kini kita siap masuk ke kehidupan new normal, yakni menghidupkan kembali perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia.

Selama pandemi Covid-19 berlangsung, banyak perusahaan yang harus tiarap karena pasar lesu dan ruang gerak yang terbatas. Namun demikian, beberapa perusahaan tetap bekerja produktif, khususnya untuk mengantisipasi bisnis paska pandemi Covid-19. Mereka yang berfikir positif bekerja merancang perjalanan bisnis kedepan dan segera tancap gas apabila PSBB sudah longgar atau berakhir. Salah satu keputusan bisnis yang mungkin ditempuh adalah melaksanakan transformasi digital sehubungan dengan pengembangan bisnis baru atau untuk peningkatan kapabilitas bisnis eksisting secara berarti. Transformasi digital memiliki output dengan ciri pelayanan yang berbasis customer centric.

Layanan berbasis customer centric ditandai dengan penyediaan produk atau layanan berkualitas, handal dan mudah digunakan serta sesuai dengan aspirasi pelanggan sehingga dipakai atau dikonsumsi secara terus menerus. Layanan ini didukung oleh proses pembelian yang mudah dan menyenangkan dengan berbagai model bisnis yang sesuai dengan kondisi pelanggan serta didukung oleh layanan billing dan purna jual yang memuaskan. Untuk itu dibutuhkan SDM dengan budaya customer centric pula, mulai dari top management hingga tenaga pelaksana lapangan. Sifat pelayanan berbasis customer centric tidak bisa dihasilkan seketika, harus dibangun melalui perjalanan waktu yang panjang dan melibatkan semua pihak dari top-down hingga pelaksana dibawah, yakni melalui pengembangan budaya kerja berorientasi kepada kepuasan pelanggan serta dengan menggunakan teknologi digital.

Pengembangan budaya berbasis customer centric dimulai dari penentuan aspirasi budaya perusahaan kedepan yang dikaitkan dengan pengembangan bisnis digital dan pelayanan terhadap pelanggan. Bisnis digital seperti Industry 4.0, Smartcity, Smarthome dan Personal lifestyle services, menuntut customer experience yang memuaskan pengguna produk atau layanan. Bagaimana dengan kondisi pelayanan saat ini, sejauh mana tingkat kepuasan pelanggan dan cara perusahaan melayani mereka? Apakah cara melayani saat ini masih relevan dengan tuntutan digital business di masa yang akan datang? Sejauh mana gap yang terjadi dan bagaimana kita menghilangkan gap tersebut? Inilah salah satu program transformasi digital, khususnya yang terkait dengan pembangunan budaya baru (digital culture).

Pembangunan budaya berbasis customer centric mencakup pembangunan sikap (attitude) SDM berikut pengembangan keahlian dibidang pelayanan dan data analytics. Pengembangan sikap SDM merupakan inti dari pelayanan, yang menuntut setiap SDM bekerja secara tulus untuk melayani pelanggan sebaik mungkin, baik pelanggan internal perusahaan maupun pelanggan eksternal. Jiwa melayani yang tulus dibentuk melalui pelatihan maupun melalui percontohan dari atasan terhadap bawahan, sehingga setiap insan pelayanan senantiasa mengembangkan dirinya dan berupaya menolong orang lain serta senantiasa empati terhadap pelanggan. Budaya melayani dengan tulus ini mudah diucapkan, namun sulit untuk dijalankan. Sering kali atasan sibuk dengan pekerjaan rutin dan strategis sehingga tidak sempat membina bawahannya. Atau atasan sering menjadi boss, bukan menjadi leader atau role model yang mengayomi bawahannya. Agar budaya melayani dengan tulus terbentuk dalam sebuah organisasi atau perusahaan maka para atasan harus menjadi role model yang memahami kebutuhan dan keluhan pelanggan, senantiasa mendahulukan pelayanan pelanggan serta menjaga hubungan baik dengan mereka. Para leader harus rajin memberikan bimbingan dan arahan, menunjukkan keteladanan serta melakukan people empowerment, dari jenjang top-level hingga pelaksana. Setiap insan pelayanan harus memiliki niat pribadi untuk melayani lebih baik, kemudian meningkat ke unit organisasi untuk memberikan hasil terbaik bagi pelanggan internal, selanjutnya antar organisasi bersinergi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan, khususnya bagi pelanggan eksternal.

Keahlian teknis melayani juga harus ditingkatkan, hal ini mengingat kompleksitas produk/layanan dan segmentasi pasar yang beragam. Keahlian teknis ini menyangkut pemahaman produk atau layanan yang dijual, teknologi yang mendukungnya, keuangan dan model bisnis serta aspek legal/kepatuhan yang harus dipenuhi. Untuk memahami pengalaman pelanggan (customer experience), insan pelayanan harus memahami Big-data atau Data Analytics, agar mampu membuat profil pengguna (users profiling) yang menyajikan informasi tentang keseharian pelanggan, yang dilihat dari berbagai dimensi, sehingga perusahaan dapat menawarkan solusi yang paling tepat bagi mereka. Untuk itu, insan pelayanan harus belajar tentang IT, khususnya yang terkait dengan Data Analytics, Machine Learning dan Artificial Intelligent. Disamping itu, insan pelayanan juga harus memahami Omni Channel, yakni kanal komunikasi dengan pelanggan dengan pelayanan yang sama (seamless), baik melalui call-centre, walk-in centre maupun online (self-care).

Upaya mewujudkan budaya berbasis customer centric butuh program kerja yang berkesinambungan, komitmen dari top level hingga pelaksana di lapangan serta SDM yang kompeten, uang dan tools. Mengingat pengembangan budaya digital ini merupakan terobosan baru bagi perusahaan tradisional maka perlu dilakukan secara terstruktur dan terukur, yakni melalui transformasi budaya digital. Perlu dibentuk sejumlah program kerja di berbagai unit organisasi, dengan mile stone yang hendak dicapai dan target waktu pelaksanaannya. Perlu dibentuk Program Management Office (PMO) yang bertugas menyelaraskan program kerja antar unit organisasi, melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan program kerja, serta membahas hambatan yang terjadi dengan para top-level/senior leader perusahaan. Disamping PMO, perlu ditunjuk agent of changes yang menjadi duta perubahan di unit-unit organisasi terkait. Peran agent of changes sangat penting untuk melakukan sosialisasi dan mempengaruhi SDM agar mau dan menjalankan perubahan budaya secara sukarela. Untuk menyemangati para pihak pelaku transformasi budaya, maka setiap keberhasilan mencapai prestasi budaya tertentu, perlu dirayakan secara bersama-sama sehingga setiap orang terpacu untuk mencapai prestasi berikutnya. Perayaan ini dapat juga melibatkan para pelanggan yang diberi kesempatan untuk memberi penilaian atas layanan yang diterimanya.

Perubahan budaya itu tidak mudah dan sering waktunya molor, karena yang diubah adalah perilaku manusia. Para top-level/senior leader harus sabar dan sering turun berdiskusi dengan bawahan serta berkordinasi dengan para pihak terkait. Hasilnya harus terukur, yakni pelanggan memberi penilaian melalui pembelian, penggunaan barang atau layanan yang lebih banyak, memberikan rekomendasi kepada orang lain untuk menggunakan barang/jasa kita serta jumlah pelanggan yang berhenti (churn) lebih sedikit. Dengan kata lain NPS (Net Promoting Score) layanan harus meningkat secara berarti. Ujung-ujungnya pendapatan dan keuntungan perusahaan akan meningkat pula. Apakah perusahaan anda sudah siap bertransformasi digital, termasuk melakukan transformasi budaya digital? Lakukan segera, jika tidak maka usaha anda akan dilibas oleh perusahaan digital yang sudah berkibar saat ini.