e2consulting.co.id – Industri migas sudah berusia ratusan tahun dan beberapa perusahaan seperti Exxon, BP, Shell dan Total adalah penghuni papan atas Fortune 500, sebelum posisi tersebut diambil alih perusahaan IT dan digital services. Harga minyak mentah sempat bertengger di angka USD 115 per barrel tahun 2014 sehingga industri migas sangat menjanjikan keuntungan yang besar saat itu. Namun situasi nyaman ini tidak dinikmati selamanya, kehadiran shale oil telah menyebabkan harga minyak turun menjadi USD 28 pada tahun 2014, hingga akhirnya stabil di angka USD 68 pada awal tahun 2018. Disamping tekanan penurunan harga jual, tantangan industri migas adalah biaya produksi yang semakin meningkat karena ladang produksi semakin sulit dijangkau dan proses produksi serta distribusinya semakin kompleks. Ladang-ladang minyak terletak di lepas pantai (offshore) dan ladang di darat (onshore) sudah semakin menipis cadangannya sehingga perlu teknologi khusus untuk memompa minyak dari perut bumi.

Industri migas penuh dengan risiko, baik keselamatan jiwa manusia, maupun dengan keamanan lingkungan dan alam sekitar sumur eksploitasi. Perusahaan migas juga menghadapi risiko gagal membor sumur yakni reservoir tidak memiliki cadangan minyak atau gas yang layak untuk diproduksi atau kegagalan membor sumur sehingga menyebabkan semburan (oil/mud spilled) dari perut bumi tidak terkendali (contoh kasus Lapindo dan BP di teluk Mexico tahun 2010).  

Begitu besarnya risiko yang dihadapi industri migas sehingga hanya sedikit perusahaan nasional yang mampu bertahan. Kebanyakan ladang minyak di seluruh dunia dikelola pemain global yang memiliki modal dan teknologi tinggi.  Ancaman terbaru industri migas adalah disrupsi dari energi terbarukan (renewable energy) yang harganya semakin murah dan semakin banyaknya konversi mesin bakar (combustion engine) ke mesin listrik. Mobil listrik sudah mulai ramai mengaspal dan harganya semakin terjangkau, demikian pula batere penyimpan energi sudah semakin banyak diproduksi, sehingga penggunaan renewable energy di berbagai sektor industri, perkantoran dan perumahan semakin feasible. Sementara, penggunaan migas untuk pembangkit listrik juga semakin berkurang, kebanyakan digunakan secara temporer, khususnya untuk melayani beban di peak-hour saja.

Perusahaan migas global telah menyadari masa depannya yang terancam dan keuntungan usaha yang makin menipis. Mereka berupaya untuk masuk ke renewable energy dan melakukan transformasi digital di proses hulu (upstream) maupun di hilir (downstream). Dalam mengeksploitasi ladang minyak, mereka menjalankan proses secara terpadu dan menghasilkan data-data yang digunakan untuk mengoptimalkan proses produksi dan distribusi migas. Teknologi digital menjadi tools di dalam bekerja di kantor maupun di ladang minyak. Berbagai teknologi digital digunakan pada proses upstream maupun downstream, antara lain adalah Internet of Things (IoT), Cloud Computing, Edge Computing, Big Data, Machine Learning, Artificial Intelligent (AI), Augmented Reality (AR), Robot dan Drone, yang ditopang oleh berbagai aplikasi seperti Digital Twins, Operation and Distribution, Supply Chain hingga Human Capital System.

Aplikasi Digital Twins merupakan otak yang mengumpulkan dan mengolah seluruh data menjadi informasi. Setiap elemen kerja memiliki identitas dan menghasilkan data-data yang akan dikumpulkan serta diolah sehingga menghasilkan gambaran yang utuh dari proses desain, produksi hingga distribusi migas.  Setiap elemen kerja disebut sebagai physical asset yang bekerja sesuai dengan penugasannya. Physical asset ini memiliki pasangan digital asset yang mengumpulkan data-data dari seluruh kegiatan elemen kerja. Digital asset mencerminkan kegiatan physical asset secara real time untuk diproses lebih lanjut oleh software aplikasi. Teknologi dan sensor IoT memampukan semua elemen produksi dan SDM terhubung ke dalam sistem pengolahan data secara terintegrasi, yang mengumpulkan data-data tentang kegiatan produksi migas. Berbagai aplikasi diintegrasikan melalui protokol API (Application Programming Interface) sehingga memungkinkan pengumpulan data dari berbagai sumber secara real-time untuk diolah secara terpadu. Data-data ini kemudian dikirimkan melalui jaringan IoT, untuk dikumpulkan dan diolah untuk menjadi informasi, yang menghasilkan data-analytics, yakni informasi yang bersifat descriptive (what happened?), diagnostics (why did it happened?), predictive (what will happened?) maupun prescriptive (what should I do). Informasi ini menjadi sangat penting agar produksi migas dapat bekerja optimal dan kontinu (24×7) serta menentukan tindakan pemeliharaan sebelum pompa, sumur atau pipa distribusi terganggu/bermasalah.

Disamping mengoptimalkan proses produksi, aplikasi Digital Twins juga sangat membantu dalam merancang sumur onshore atau offshore platform. Aplikasi Digital Twin mampu merancang platform mulai dari engineering, design, construction hingga operation readiness secara terintegrasi, sehingga dihasilkan platform yang biaya investasinya lebih murah, pembangunannya lebih cepat dan mitigasi risikonya terkendali serta mobilitas orang serta peralatan di platform berjalan efektif.

Digitalisasi proses produksi migas memerlukan perubahan proses kerja yang berarti, baik dalam proses bisnis maupun kompetensi SDM serta penggunaan teknologi digital secara efektif. Otomatisasi menyebabkan peran SDM di lapangan berkurang, sebagian berubah menjadi fungsi pengawas dan pengendali operasi migas. Untuk itu mereka harus lebih paham tentang teknologi digital, khususnya lebih memahami IT dan sistem komunikasi data serta data analytics. Karyawan eksisting perlu di re-skilling agar mampu memenuhi kebutuhan SDM migas modern. (bersambung)