e2consulting.co.id – Dalam tulisan sebelumnya saya telah mengulas tentang program swasembada pangan dengan menggunakan teknologi digital. Kali ini saya akan membahas lebih jauh tentang penggunaan teknologi digital dalam agriculture business yang akan meningkatkan kemampuan perusahaan perkebunan maupun petani dalam hasil produksi yang lebih besar, mengurangi biaya serta risiko gagal panen.
Jumlah penduduk dunia pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai 10 miliar orang, meningkat dari 7 miliar orang saat ini. Tantangan terbesar yang akan dihadapi dunia adalah menyediakan pangan yang meningkat dua kali lipat dalam waktu relatif singkat. Sementara itu, masyarakat semakin sedikit yang menjadi petani karena banyak penduduk berpindah ke kota dan lahan pertanian yang semakin berkurang karena berubah peruntukan. Disisi lain, alam semakin tidak bersahabat karena pemanasan global, banjir dan cuaca yang tidak menentu, sehingga hasil produksi pertanian tidak optimal.
Manusia terus berupaya untuk meningkatkan kemampuannya dalam memproduksi pangan, mulai dari pengembangan bibit unggul, pengolahan tanah, pemasokan air dan pengendalian cahaya matahari, pengelolaan hama dan pelaksanaan panen yang efektif dan efisien. Teknologi menjadi kata kunci dalam pengembangan produksi pangan, khususnya penggunaan teknologi digital secara terpadu dalam keseluruhan proses bisnis mulai dari pembibitan hingga panen. Digital agriculture adalah penggunaan teknologi digital secara terintegrasi dalam proses produksi agrikultur, mulai dari kantor lapangan (paddock) hingga hasil produksi diterima pelanggan. Teknologi digital memiliki tools yang akan menyajikan informasi kepada pelaku industri agrikultur sehingga mampu mengambil keputusan berdasarkan data/informasi yang akurat serta meningkatkan produktivitas-nya.
Berbagai stakeholder terlibat dalam pengembangan digital agriculture, antara lain Universitas, Pemerintah, Perusahaan pertanian/perkebunan, petani, penyedia bibit, penyedia mesin-mesin perkakas pertanian dan pabrik pupuk. Kemampuan bertani/berkebun ditingkatkan dengan penggunaan teknologi drone – UAV (unmanned aerial vehicles), sensor IoT (Internet of Things), Communication and Cloud Network serta sistem pengolahan data (big data dan Artificial Intelligent-AI). Prinsip dasar dari Digital Agriculture adalah menggunakan sensor IoT diseluruh aktivitas sarana produksi, yang mengirim data secara teratur ke pusat pengolah data, misalnya data tentang kondisi bibit, penanaman awal, kondisi tanah, cuaca, gangguan hama, pemupukan, perkembangan tanaman hingga hasil produksi. Petani menggunakan gadget atau HP-nya memonitor kondisi ladangnya, mengatur traktor bekerja, menyalurkan air ke tanaman, mengatur suhu, kelembaban dan cahaya ke tanaman, memerintahkan drone untuk memeriksa tanaman, hingga mengatur pekerjaan harian yang disesuaikan dengan informasi cuaca yang diperoleh. Informasi cuaca sangat penting bagi petani untuk melakukan kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman. Dengan prediksi cuaca harian, mingguan dan bulanan maka petani mempersiapkan rencana kerja dan sumber daya yang dibutuhkan.
Transformasi digital dibidang agrikultur sedang berlangsung saat ini. Perusahaan IT, konsultan bisnis dan sistem integrasi telah menjadi penggerak perubahan yang mengajak para pihak untuk masuk dalam digital agriculture ecosystem. Perusahaan John Deere, yang selama ratusan tahun dikenal sebagai pabrikan traktor pertanian, telah bertransformasi menjadi penyedia teknologi pertanian. Mereka memperlengkapi traktor dan alat pertanian dengan sensor IoT serta tersambung dengan jaringan IoT sehingga mampu mengumpulkan data-data dari semua kegiatan yang dijalankan, selanjutnya data diolah menjadi informasi. Demikian pula Pemerintah tidak ketinggalan, misalnya Pemerintah Negara bagian Victoria di Australia telah memanfaatkan teknologi digital untuk membantu petani disana untuk meningkatkan kemampuan produksinya. Mereka menyediakan anggaran riset dan bantuan kepada petani agar mampu mendayagunakan teknologi digital. Konsultan bisnis dan IT serta sistem integrator menjadi penjahit yang mengintegrasikan seluruh proses bisnis ke dalam kegiatan kerja terpadu dalam sebuah software aplikasi. Sasaran utamanya adalah perusahaan pertanian/perkebunan dan petani modern yang menjadi pengguna aplikasi tersebut. Aplikasi teknologi digital tersebut menuntut SDM perusahaan/petani untuk memahami proses bisnis secara lengkap, memahami teknologi digital yang digunakan agar mampu mendayagunakannya secara efektif, mengolah data menjadi informasi dan menyajikan prediksi produksi di masa mendatang.
Data-data yang diperoleh dari setiap proses diolah dan disajikan sehingga digunakan untuk mengambil keputusan. Misalnya hasil dari perkembangan tanaman apakah perlu pemupukan atau penambahan air atau pengendalian cahaya. Demikian juga hasil pemotretan drone dan foto tanaman apakah perlu tindakan pengendalian hama. Tanaman dipantau terus sampai dengan siap panen hingga panen dipetik. Hal ini tentunya akan menghasilkan produksi yang berkualitas dan data panen yang dihasilkan akan menjadi referensi untuk penanaman atau panen berikutnya. Misalnya mengapa hasil panen meningkat atau berkurang.
Pelaksanaan digital agriculture ini tidak murah dan hanya efektif digunakan untuk lahan yang cukup luas. Perusahaan perkebunan dan Koperasi Petani Nasional berpotensi untuk menggunakannya. Perlu kerjasama yang erat antara Pemerintah Pusat, PEMDA, Universitas, Telkom dan penyedia sistem aplikasi untuk membuat percontohan digital agriculture, tentunya dengan melibatkan Perusahaan Perkebunan dan Koperasi Petani. Rencana Pemerintah untuk mengembangkan food estate sebaiknya menerapkan teknologi digital di bidang proses produksi agar hasilnya optimal dan menjadi landasan untuk mengembangkan potensi Indonesia sebagai lumbung pangan dunia (bersambung).